Senin, 02 April 2012

Tafsir Narasi Tentang Rekonsiliasi


Bahan: Kej. 25:19 – 33:18

Pendahuluan

Kisah tentang Esau dan Yakub merupakan kisah klasik tentang pertentangan dua orang kakak-beradik, yang berkembang menjadi dua bangsa, dan berakhir dengan sebuah rekonsiliasi (perdamaian). Namun untuk memahami dinamika yang terjadi dalam kisah tersebut, yang dimuat secara “lengkap” dalam Kej. 25-33, perlu dicermati setiap alur kisah melalui alur naratif-imajinatif sehingga kita dapat menemukan makna-makna yang terkandung dalam kisah yang dcukup panjang ini. Untuk menyingkat, kita akan segera memulai perjalanan kita menelusuri kisah hidup Esau dan Yakub.

Perlu dicatat bahwa kisah dalam Kej. 25-33 bukan hanya memuat tentang Esau dan Yakub melainkan juga memuat kisah-kisah di seputar kehidupan Esau dan Yakub. Dan karena dalam PA ini hanya akan menyoroti tentang rekonsiliasi Esau – Yakub, maka untuk sementara kisah-kisah di seputar mereka agak kita abaikan. Untuk itu saya mohon maaf.-

Awal Kisah – Sebuah ramalan yang akan terjadi

Kisah tentang Esau dan Yakub dibuka dengan sebuah ramalan dari Tuhan mengenai nasib kedua anak tersebut (25:23). Ramalan itu disampaikan oleh Tuhan secara transparan dengan mengungkapkan bahwa “si adik” akan menjadi tuan dan “si kakak” akan menjadi hamba bagi adiknya. Melalui kisah pembuka ini, dengan sangat jelas narator hendak mengajak pembaca untuk “berpihak” pada si adik yang kelak akan menjadi “tuan” bagi si kakak. Hal ini semakin dipertegas dengan penceritaan mengenai penampilan (performance) dari kedua orang yang terlahir. Esau (si kakak) digambarkan sebagai orang yang berwarna merah dan berbulu (sebuah gambaran/ simbolisasi dari orang yang keras dan dikuasai oleh emosi – dan ia hidup dengan berburu, yang semakin melengkapi gambaran tentang kerasnya hidup yang dijalani Esau) dan Yakub (si adik) digambarkan sebagai anak yang tenang dan suka tinggal dikemah (yaitu simbolisasi mengenai kehidupan yang tenang, teratur dan tertib). Dari gambaran ini, tampak narator hendak mengajak pembaca untuk menentukan pilihan atau keberpihakan; pilih yang liar atau yang tenang ...

Kisah ini berjalan dengan sangat cepat, karena dalam perikop yang sama narator sudah menceritakan tentang peristiwa perpindahan “hak kesulungan” dari Esau ke Yakub (25:29-33). Kembali kita disuguhkan tentang gambaran “kesembronoan” vs. “kecerdikan”, yang mewakili dua sikap yang saling bertentangan seperti yang digambarkan di atas. Agaknya maksud narator di sini sangat jelas, yaitu ia telah menjatuhkan pilihannya untuk berpihak pada Yakub, si anak ke-2 yang berjiwa tenang dan yang akan menjadi tuan bagi saudara tuanya.

Kisah Penipuan

Untuk menetralisasi keberpihakan narator, kisah tentang Esau – Yakub ini dipindah (untuk sementara) ke kisah tentang Ishak di Gerar; yang sebenarnya merupakan pengulangan kisah tentang Abraham, bapaknya, di Mesir (12:10-20) dan di Gerar (20-:1-18). Khususnya ketika Abraham di Gerar, maka kisah Yakub di Gerar (26) persis sama dengan kisah Abraham. Di sini narator mau mengungkapkan bahwa gaya kehidupan dan “nasib” yang dialami Abraham sama dengan yang dialami Ishak; meskipun mereka berbohong tetapi Allah tetap berpihak pada mereka. Dan kisah ini juga mewarnai pemikiran si narator, bahwa meskipun Yakub yang berbohong (yang dilakukan berkali-kali) tetapi si narator (dan Allah?) tetap berpihak pada Yakub, bukan Esau! Agaknya kisah ini menjadi latar belakang jauh dari pembentukan karakter dan sikap Yakub, yang disayang dan selalu dibela oleh Allah (melalui narator?). Adalah menarik apabila diamati akhir dari kisah ini, yaitu menggambarkan tentang kesedihan hati Ishak dan Ribka karena Esau mengawini gadis-gadis di luar keluarga (26:34-35). Dan kisah kekecewaan inilah yang membuka episode tentang kisah tipu-menipu untuk merampas berkat kesulungan (seolah-olah hal ini bisa dibenarkan, karena sudah ada kekecewaan terlebih dahulu).

Dalam kelanjutan kisah kita menjumpai bagaimana Yakub membohongi Ishak, dengan dibantu oleh Ribka – ibunya, dan kebohongan ini berjalan dengan sukses. Akibatnya adalah kemarahan Esau kepada Yakub, karena ia merasa dilangkahi oleh Yakub. Jika dilihat dari kacamata Esau – Yakub, berkat itu memang layak diberikan kepada Yakub karena Esau telah menjual hak kesulungannya kepada Yakub (dan hal ini yang memang diharapkan oleh narator); tetapi di mata Yakub (dan juga sebenarnya Ribka) hak kesulungan itu milik Esau karena ia tidak tahu bahwa hak kesulungan itu telah berpindah kepada Yakub. Jadi di sini, dengan cerdik, narator hendak mengajak pembaca untuk ikut terlibat dalam kisah ini dan dengan “agak dipaksakan” para pembaca diajak untuk menyetujui dan berpihak pada Yakub.

Sampai dengan rangkaian kisah ini, kita melihat bahwa kemarahan Esau kepada Yakub sebenarnya merupakan kemarahan yang terakumulasi; dimulai dari ramalan yang pasti sudah didengarnya dari kedua orangtuanya, kurangnya perhatian dari Ribka yang lebih menyayangi Yakub, tentang hak kesulungan, tentang kekecewaan Ishak dan Ribka karena perkawinan Esau tetapi tidak kepada Yakub, dan terakhir tentang berkat yang ia dapat, yaitu berkat untuk menjadi hamba bagi adiknya dan hidup dalam alam kekerasan (27:39-40). Dapat dibayangkan betapa marahnya Esau kepada Yakub. Jadi tidaklah mengherankan apabila Esau bermaksud untuk membunub Yakub, setelah hari perkabungan (27:41)!

Dimulainya Sebuah Pelarian

Dalam jalinan kisah berikutnya digambarkan mengenai Yakub yang sangat ketakutan sehingga ia melarikan diri dari hadapan Esau, ayah dan ibunya. Pelarian ini memang sudah di atur oleh Ribka dan dapat dikatakan sebagai pelarian yang diberkati, sebab Yakub pun menyetujuinya dan memberkatinya. Hal ini sebenarnya semakin menyulut kemarahan Esau, karena alasan yang diberikan bagi kepergian (pelarian) Yakub adalah karena kedua orangtuanya tidak setuju dengan perempuan Het, sehingga Esau mengambil keputusan untuk lebih melukai perasaan kedua orangtuanya dengan mengambil keturunan Ismael sebagai istrinya (28:1-9)

Sebagai seorang pelarian, Yakub selalu berupaya untuk mendapatkan kemudahan-kemudahan serta selalu menghalalkan segala cara (inilah ciri khas seorang pelarian, yang ingin mengamankan dirinya meskipun harus ditempuh dengan hal-hal di luar kelaziman). Beberapa hal yang dapat ditunjukkan adalah:
  1. Yakub mengambil sebuah batu untuk alas tidurnya di Betel (28:10-22). Ini adalah simbol mengundang dewa untuk menemani perjalanan. Dan yang datang bukan dewa, tetapi Allah yang memberi kepastian akan menemani dan memberkati Yakub sampai kapan pun.
  2. Ketika ia ingin mengawini Rahel, tetapi yang diberikan adalah Lea; maka ia menyetujui maksud Laban untuk membiarkan dia bekerja selama 7 tahun lagi (tentunya dengan maksud dan niat yang kurang baik) sehingga ia dapat mengawini Rahel. Niat ini kemudian tampak ketika Yakub mengakali anak-anak kambing yang didapatnya melalui rekayasa, sehingga anak kambing yang kuat menjadi miliknya dan yang lemah menjadi milik Laban (30:25-43).
  3. Peristiwa Yakub dan Laban. Setelah Yakub mendapatkan semua yang diingininya, Allah menyuruh supaya ia kembali ke tanah airnya. Ia mengutarakan maksudnya kepada Laban, tetapi Laban tidaksetuju. Ketidaksetujuan Laban berarti membuka “luka lama” Yakub, sehingga yang ia lakukan adalah melarikan diri dari hadapan Laban. Kembali Yakub lari dari segala permasalahannya; meskipun dalam lanjutan cerita digambarkan bahwa Laban mengejar Yakub dan kemudian mereka berhasil menyelesaikan perselisihannya.
  4. Peristiwa persiapan untuk bertemu dengan Esau. Kisah ini menggambarkan betapa Yakub masih tetap ingin lari dari kenyataan. Ia merasa takut akibat dari “guilty-feeling” yang tidak pernah selesai. Kondisi semacam inilah yang mengakibatkan Yakub tidak pernah menjadi seorang dewasa, dan hal ini harus diubah!

Bertumbuh dengan Menghadapi Kenyataan - Rekonsiliasi

Situasi Yakub yang selalu melarikan diri dari kenyataan ini tidak dikehendaki oleh Allah. Oleh sebab itu, dalam episode mengenai pergumulan Yakub di sungai Yabok (32:22-32) dikisahkan bahwa Yakub harus bergumul dengan Allah (malaikat?; atau dirinya sendiri?). Dan pergumulan ini memang dimenangkan oleh Yakub, tetapi Yakub mengalami cacat yaitu sendi pangkal paha Yakub terpelecok sehingga ia menjadi pincang. Kepincangan Yakub ini adalah simbol dari perintah Allah supaya Yakub tidak melarikan diri lagi dari setiap masalah dan kenyataan yang ada. Dan episode ini ditutup dengan hadirnya cakrawala baru dalam hidup Yakub, ketika Yakub menyongsong matahari terbit yang menandakan hari baru dan hidup baru!

Semangat baru ini yang mendasari pertumbuhan Yakub ke arah kedewasaan, sehingga ia ingin mengadakan rekonsiliasi dengan Esau, kakaknya. Dan sebelum bertemu dengan Esau, terlebih dahulu Yakub mengirim seseorang untuk mengetahui dan membuka hubungan diplomasi dengan Esau. Dengan demikian, Yakub yang dahulu serba tergantung dan tidak pernah dewasa sekarang berubah menjadi orang yang penuh dengan perhitungan. Dan hasil dari perundingan itu, Esau berkenan untuk menjumpai Yakub.

Hasil akhir dari rekonsiliasi ini adalah Esau memaafkan Yakub. Dan yang menarik dalam peristiwa ini adalah bahwa Yakub, sebagai orang yang dimaafkan segala kesalahannya, melihat wajah Esau serasa melihat wajah Allah (33:10). Hal ini menandakan bahwa di dalam peristiwa rekonsiliasi (wajah) Allah bermain peran dengan aktif, sehingga ketika ada rasa saling memaafkan maka (wajah) Allah pun menjelma dengan kuat dalam peristiwa itu.

Relevansi dari Kisah

Silakan memberikan relevansi dari kisah ini ....

-------ooOoo-------

Penulis : Pdt. Firman Pandjaitan, Mth

Tidak ada komentar:

Posting Komentar