Senin, 19 Maret 2012

Menghindari Kemunafikan

Matius 23:1-12

Bagian ini berisikan peringatan keras untuk menghindari gaya hidup religious dari para ahli Taurat dan orang farisi. Para pendengar serangan Yesus atas para ahli Taurat dan orang Farisi terdiri dari para murid dan orang banyak (ay. 1). Para ahli Taurat adalah kaum intelek yang religious, ahli dalam menafsirkan kitab PL dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Orang Farisi termasuk dalam persekutuan persaudaraan dengan para ahli Taurat, dan selalu membanggakan diri sebagai kelompok yang menaati hukum dengan sebaik-baiknya. Tetapi perlu dicatat, bahwa tidak setiap orang Farisi adalah ahli Taurat dan juga sebaliknya.

Dalam ay.2 dikatakan bahwa para ahli Taurat dan orang Farisi duduk “di kursi Musa”, suatu gambaran kehormatan dalam rumah ibadat, di mana seorang guru menyampaikan ajarannya. Para pendengar didesak untuk mendengar ajaran mereka, tetapi hendaknya menghindari kemunafikan mereka.
 
Dalam ay.5-10 ditekankah bahwa cinta para lawan terhadap penonjolan diri dan hasrat untuk memperoleh sebutan-sebutan kehormatan mendapat kritikan yang pedas. Dalam bagian ini digambarkan tentang praktek mereka yang suka ditonjolkan antara lain: membuka kotak kecil yang berisi gulungan ayat (filakteri) yang dipergunakan selama berdoa, memperpanjang jumbai-jumbai yang disambungkan pada 4 sudut jubbah, memperebutkan tempat terhormat dalam kumpulan religious atau social, dan mencari sebutan yang berprestise seperti: “rabi”, “bapa”, dan “guru”.

Sebutan-sebutan ini tidak dipakai dalam ayat 8-10 atas dasar keyakinan bahwa hanya Allah yang layak disebut “Bapa” dan hanya Yesus yang layak disebut “Guru”. Penonjolan religius ditolak dalam ayat 11-12 dalam terang kepemimpinan ideal Kristen sebagai pelayanan kepada jemaat dan dinamika kerendahan hati.

Dengan demikian kendati Yesus mengakui otoritas para ahli Taurat dan orang Farisi (“kursi Musa”), namun Ia menyadari, perilaku mereka tak bisa diteladani. Jadi, jalan keluar yang cerdaslah yang Yesus tawarkan: turuti ajarannya, tapi jangan contoh kelakuannya. Bagi Yesus, kepemimpinan bukanlah soal memerintah atau menguasai, melainkan keteladanan. Lebih jauh, Yesus menganjurkan hubungan kesetaraan (relasi egaliter) di antara para pengikut-Nya – layaknya sebuah keluarga. Pemimpin sejati adalah yang mau melayani.

Penulis : Pdt. Firman Pandjaitan, Mth.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar