KONSEP KESELAMATAN
MENURUT AGAMA KRISTEN
Studi Kata
Keselamatan (bahasa Yunani = Soteria – Soteria) dapat diartikan dengan
“Pembebasan”, juga berarti sebuah “jalan terobosan dengan aman” atau “menjaga
dari bahaya”. Dengan pemahaman ini dapat diperoleh sebuah makna bahwa
keselamatan itu sendiri merupakan segenap karya Allah dalam menjaga dan
membawa manusia keluar dari hukuman menuju pada pembebasan.
Perkembangan Pemahaman
Sejak Zaman Perjanjian Lama sampai dengan Zaman Perjanjian Baru
Sejak Penciptaan, Allah mencanangkan
keselamatan bagi manusia ciptaan-Nya, oleh sebab itu Allah menciptakan manusia
seturut dengan “Gambar dan Rupa-Nya”
(catatan: sebenarnya istilah “Tselem (~l,c,) dan Demuth (tWmd>)” bukan sekadar berarti gambar dan rupa, melainkan lebih mengarah pada pengertian” bayangan dan pola/ patern”, sehingga sebenarnya manusia itu adalah siluet yang digambar berdasarkan pola/ patern Allah).
(catatan: sebenarnya istilah “Tselem (~l,c,) dan Demuth (tWmd>)” bukan sekadar berarti gambar dan rupa, melainkan lebih mengarah pada pengertian” bayangan dan pola/ patern”, sehingga sebenarnya manusia itu adalah siluet yang digambar berdasarkan pola/ patern Allah).
1.
Perjanjian dengan Nuh (setelah Air Bah) yang
menekankan tentang janji Allah untuk kelangsungan hidup kodrati-> berarti Allah merencanakan keselamatan bagi seluruh kehidupan;
2.
Perjanjian dengan Abraham, yang berisi tentang 3
janji yaitu:
a.
Tanah Perjanjian
b.
Keturunan Abraham akan menjadi bangsa yang besar
c.
Keturunan Abraham akan menjadi berkat bagi
bangsa-bangsa lain, agar seluruh bangsa lain pun memperoleh keselamatan dari
Allah.
3.
Perjanjian Sinai, yang berisi tentang janji
keselamatan bagi Israel dan Israel harus menebarkan keselamatan ini kepada
seluruh bangsa.
Dengan melihat untaian janji tersebut, kita
menemukan sebuah fakta bahwa keselamatan yang dijanjikan dan diberikan Allah
bukanlah keselamatan yang bersifat parsial melainkan selalu universal! dan
untuk menjaga Perjanjian tersebut, Allah melengkapi manusia dengan kasih setia
(ds,x, = khesed, yaitu
kasih setia yang ditumbuhkan Allah untuk menjaga Perjanjian).
Namun, karena manusia tidak bisa menjaga
perjanjian itu dengan sempurna (dalam sejarah ditemukan kenyataan bahwa manusia
selalu memberontak dan melawan kehendak Allah), maka ada satu kesimpulan umum
didapatkan bahwa ternyata keselamatan itu tidaklah pernah dapat dicapai
melalui upaya manusia untuk menjaga perjanjian dengan Allah. Dengan
kesadaran ini, maka Alkitab mencatat mengenai munculnya Perjanjian Allah kepada
manusia yang ke-4, yaitu: Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian ke-4 ini, manusia
tidak lagi diminta untuk mengupayakan dan berusaha untuk mencapai keselamatan
dengan usahanya sendiri, melainkan manusia hanya dituntut untuk bisa
mempercayakan dirinya kepada Yesus Kristus, sebagai Tuhan yang datang dalam
wujud manusia, yang telah mengambil alih semua kesengsaraan manusia (dan dunia)
ke dalam dirinya dan kemudian menebusnya melalui kematian-Nya di kayu salib
(bdk. 1 Petr. 2:22-25).
Sejalan dengan pengambilalihan derita manusia ke
dalam diri Yesus Kristus, maka keselamatan yang ditawarkan dan diberikan oleh
Yesus pun bersifat universal. Kristus mati bagi penebusan dosa dunia dan
seluruh umat manusia (kembali kita temukan makna keselamatan universal).
Pertanyaannya sekarang, bagaimana respons manusia dalam menanggapi keselamatan
ini?
Saya hendak melihat respons tersebut
melalui Kitab Matius 28:19-20, khususnya melalui 4 kata kunci yang ada di dalam
ayat-ayat tersebut. Umumnya orang yang membaca bagian ini mengatakan bahwa
Matius 28:19-20 adalah Amanat Agung yang memerintahkan manusia untuk
memberitakan Injil dan mempertobatkan (kalau perlu dikatakan untuk
“mengkristenkan”) seluruh umat manusia. Menanggapi pendapat umum ini, saya
setuju bila dikatakan untuk memberitakan Injil, karena pengertian Injil yang
sesungguhnya adalah: Berita Sukacita (euagglion = Euanggelion,
Kabar/ Berita Sukacita yang harus diberitakan kepada seluruh manusia
mengenai pembebasan dan keselamatan yang diberikan Allah kepada seluruh umat
manusia). Namun bila itu dikatakan sebagai wujud untuk mempertobatkan
(“mengkristenkan”) manusia, saya tidak setuju! Mengapa? Berikut
alasan yang saya kemukakan:
Dengan melihat
bahasa asli (Yunani), dapat ditemukan bahwa ke-4 kata kunci dalam perikop ini,
yaitu: PERGILAH, MURIDKANLAH, BAPTISLAH, dan AJARLAH, sebenarnya 3 dari ke-4
kata itu bukanlah bentuk kata kerja! Kita lihat masing-masing kata:
1.
Pergilah; Alkitab memang menerjemahkannya demikian.
Tetapi sebenarnya kata ini diterjemahkan dari kata poreuqentes = poreuthentes yang mengambil bentuk
partisip (yang sedang berlangsung); sehingga lebih baik diterjemahkan
dengan kalimat: as you go... (sementara engkau pergi). Jadi bukan kata
kerja dan imperatif (kalimat perintah). Demikian juga halnya dengan kata Baptislah
(dari kata: baptizontes = Baptizontes,
yang juga berbentuk partisip) dan Ajarlah (didaskontes = didaskontes, juga mengambil
bentuk partisip). Jadi ketiga kata ini adalah sesuatu yang sedang dan harus
mengikuti perjalanan hidup manusia, bukan dilakukan karena sebuah perintah,
melainkan lebih mengarah pada hakikat hidup yang harus ditumbuhkembangkan oleh
manusia.
2.
Lain halya dengan kata Muridkanlah (maqhteusate = matheteusate). Kata ini berbentuk
imperatif aktif, jadi inilah yang menjadi perintah utama dalam pengutusan Yesus
kepada murid-murid-Nya. Perintah utama ini sejalan dengan perintah dalam ke-3
perjanjian di atas, yaitu supaya para murid Yesus dapat menjadi kelompok orang
yang menjadi berkat bagi orang lain sehingga seluruh orang yang dijumpai dalam
kehidupannya pun akan mengalami dan merasakan berkat keselamatan dari Tuhan.
Dengan demikian, perintah dalam Matius 28:19-20 adalah untuk membagikan berkat
kepada semua orang (dan semua orang tetap layak menjadi murid Tuhan) agar
keselamatan itu selalu dapat dinikmati oleh semua orang.
Dengan mengacu
pada uraian di atas, sampailah saya pada sebuah kesimpulan: bahwa keselamatan,
dalam agama Kristen, adalah sebuah anugerah Allah yang tidak dapat diupayakan
melalui usaha manusia. Keselamatan akan menjadi sangat berarti bila manusia mau
meresponsnya melalui iman dan perbuatan untuk menjadi berkat bagi sesama
manusia. (fp)
Pada dasarnya
aku hanya bisa membaca dan menkhotbahkan firman Tuhan, dan untuk selanjutnya
Firman Tuhan itulah yang bekerja di dalam kehidupan
(Martin
Luther).
Penulis : Pdt. Firman Pandjaitan. Mth.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar