Jumat, 23 Desember 2011

Mengapa Yesus lahir di kandang domba?

*sebuah refleksi terhadap Lukas 2:6-7*

Bagi kita yang merayakan Natal (= kelahiran) Yesus  Kristus, sudah tidak asing lagi dengan ungkapan yang mengatakan bahwa Allah yang datang ke dunia dalam wujud Bayi Kudus lahir di kandang domba. Allah datang untuk menyelamatkan manusia; oleh karena itu manusia harus hidup sesuai dengan kehendak Allah yang kudus.

Ungkapan tersebut terlalu sering dan sangat mudah untuk dikatakan, tetapi di balik semua itu ada pertanyaan yang perlu untuk dikemukakan, yaitu: sebenarnya apa makna dari ungkapan di atas? Bagaimana kita mencoba mengerti arti dan makna hal tersebut? Terutama bagi kita yang merayakan Natal tahun 2011 ini, makna apa yang bisa kita petik dari peristiwa ini?

Kita berangkat dari petanyaan awal, mengapa Allah yang Maha Kuasa dan berkuasa di atas tahta yang Maha Tinggi, justru, hadir di dunia ini melalui media kandang domba? Jangan katakan itu memang sudah jadi pilihan-Nya. Bukan! Itu bukan kehendak Allah, tetapi itu justru adalah kehendak manusia. Manusia yang menentukan dan menetapkan bahwa Allah, dalam diri Yesus Kristus, harus lahir di kandang domba. Hal ini tampak dalam Luk.2:7; di mana ditegaskan bahwa kelahiran Yesus Kristus itu terjadi di kandang domba karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.

“Tidak ada tempat”, ungkapan ini adalah ungkapan penolakan! Kedatangan Tuhan pertama kali disambut dengan penolakan manusia. Mengapa? Karena kehadiran Yusuf dan Maria di tengah-tengah orang yang berkumpul bersama sanak saudaranya dipandang sebagai sebuah gangguan bagi kemeriahan pesta yang mereka adakan. Apa yang akan terjadi bila di dalam kemeriahan pesta reuni keluarga (karena saat itu umumnya keluarga berkumpul untuk melakukan sensus) terdengar erangan orang yang akan melahirkan dan tangis bayi? Bukankah ini hanya mengganggu kemeriahan tersebut?

Dalam hal ini perlu dicatat bahwa hal pertama yang sungguh bermakna dalam kelahiran Yesus adalah: ketidakmauan manusia untuk “diganggu” oleh kehadiran Tuhan. Ini sama dengan manusia jaman sekarang, yang sangat enggan untuk diganggu oleh kehendak Tuhan. Kemeriahan hidup dan glamouritas kehidupan yang dijalani manusia akan sangat terganggu jika manusia mau mengarahkan hati dan rasa mereka kepada Tuhan. Mengapa? Karena kehendak Tuhan, justru, akan mengarahkan mereka ke jalan yang tidak didasarkan atas kemewahan, tetapi atas dasar kepedulian terhadap sesama. Mungkinkah manusia yang kesehariannya berfoya-foya akan berkenan untuk memberi kepedulian kepada mereka yang rendah dan miskin? Ah… ini hanya mengganggu saja. Mungkinkah perayaan Natal yang begitu meriah dan glamour ini harus diubah menjadi perayaan Natal yang biasa dan ditujukan pada hal-hal yang lebih bersifat peduli? Ow… jangan sampai hal ini terjadi! Ini hanya mengganggu perayaan Natal yang MEMANG harus meriah…

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah: kandang domba. Kandang domba adalah symbol dari kesederhanaan. Ini mengartikan bahwa kelahiran Yesus hanya bisa terjadi dalam wujud kesederhanaan. Ia datang untuk sebuah kesederhanaan; dan iman yang diajarkan adalah iman yang sederhana. Jika demikian, Yesus hanya lahir di hati yang dipenuhi dengan kesederhanaan dan kerendahan hati. Yesus tidak mungkin terlahir di hati yang dipenuhi dengan kesombongan; karena Yesus bukanlah Tuhan yang sombong. Tuhan, di dalam Yesus Kristus, adalah Tuhan yang rendah hati. Ia hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang rendah hati. Ini berarti bahwa perayaan natal merupakan perayaan kerendahan hati; tidak perlu diisi dengan kemewahan dan kehebatan pesta. Perayaan Natal bukan sekadar perayaan ulang tahun, melainkan perayaan reflektif bagi penyambutan kedatangan Tuhan yang rendah hati. Jika Natal dirayakan dengan mewah, glamour dan bertaburan dengan anggaran yang berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus juta; bukankah hal ini berarti bahwa perayaan ini menunjukkan wajah aslinya, yaitu: “tidak ada tempat bagi Tuhan yang rendah hati”?

Selamat Natal…

Penulis : Pdt. Firman Pandjaitan, Mth.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar